Akuntabilitas dan Pengelolaan Keuangan di Mesjid




  • Judul Jurnal : Akuntabilitas dan Pengelolaan Keuangan di Mesjid

    Kategori : Jurnal Akuntansi Sektor Publik – Good Governance (ASPGG) – Simposium Nasional Akuntansi XIV (SNA 14)

    Penulis : Dahnil Anzar Simanjuntak, Yeni Januarsi (Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten)

    ABSTRAK

    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan memahami praktek akuntansi dan manajemen keuangan di dalam masjid. Secara khusus, penelitian ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan Masjid dijalankan. Metode kualitatif digunakan dalam penelitian ini. Penelitian ini mencoba untuk memverifikasi praktek akuntansi di Masjid, dan menggambarkannya. Akuntansi Sederhana yang digunakan oleh para pengurus masjid  menciptakan transparansi dan akuntabilitas, dan pengaruh ibadah yang dilakukan oleh masyarakat Muslim di sekitarnya Masjid. Praktek akuntansi yang diterapkan dalam Baitusalam untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas, menciptakan dilema transparansi dan akuntabilitas. Dalam kondisi umum dimana akuntansi diterapkan dapat mendorong transparansi dan akuntabilitas, tapi di Ketapang dimana Masjid Baitusalam berada, transparansi dan akuntabilitas menunjukkan motif, yang dalam Islam disebut sebagai “ria”. Hal ini penting diteliti untuk menyajikan akuntansi dari sebuah entitas dan kontribusinya untuk kemasyarakatan.

    Kata Kunci : transparansi, akuntabilitas, akuntansi masjid, teologi akuntansi, penelitian kualitatif

    Latar Belakang

    Allah SWT melalui Al Quran surat Al Baqarah 282 berfirman: “ Hai orang-orang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan.”

    Penggalan Surat Al Baqarah 282 tersebut diatas secara implisit memberikan pesan bahwa Islam mendorong praktik akuntansi dalam kehidupan bermuamalah (perdagangan). Pada dasarnya, ilmu akuntansi dan praktek akuntansi di lingkunganan bisnis (muamalah) telah menjadi bagian yang integral. Namun, ilmu akuntansi dan prakteknya di luar entitas bisnis khususnya lembaga keagamaan sangat termarginalkan. Sebagai entitas pelaporan akuntansi yang menggunakan dana masyarakat sebagai sumber keuangannya dalam bentuk sumbangan, sedekah atau bentuk bantuan sosial lainnya yang berasal dari masyarakat (publik), masjid menjadi bagian dari entitas publik yang semua aktivitasnya harus dipertanggungjawabkan kepada publik. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kata kunci yang penting bagi entitas publik untuk bertahan dan memaksimalkan perannya pada domain sosial budaya dimana entitas tersebut berada yang berbeda dengan entitas publik lainnya.

    Masjid merupakan entitas publik dimana nilai-nilai spiritual Islam dikembangkan dan nilai-nilai spiritual tersebut seringkali tidak dapat berdamai dengan nilai-nilai materialisme lainnya yang biasa eksis pada entitas pelaporan akuntansi lainnya seperti perusahaan atau entitas sektor publik lainnnya. Booth (1993) menjelaskan bahwa, Pemisahan kehidupan spiritual dan keduniawian menempatkan akuntansi sebagai ilmu yang didasari oleh pemahaman sekuler, menyebabkan institusi keagamaan seperti gereja, hanya mentolelir peran akuntansi pada batas mendukung kegiatan spritual, tidak terintegrasi dalam mendukung tugas-tugas suci keagamaan. Sebagai sebuah ilmu pengetahuan, Akuntansi pada dasarnya adalah tools yang dapat mendukung kinerja entitas dimana akuntansi itu dipraktekkan.

    Praktek akuntansi pada lembaga-lembaga keagamaan atau lembaga Nirlaba lainnya merupakan sesuatu yang tidak lazim. Walaupun tidak lazim, penelitian praktek akuntansi pada lembaga keagamaan seperti gereja banyak dilakukan oleh beberapa peneliti Akuntansi. Helen Irvine (2004) menyimpulkan bahwa, Pendeta dan orang awam percaya bahwa akuntansi tidak mengganggu agenda suci yang dikerjakan oleh Gereja, sebaliknya, akuntansi adalah bagian penting yang terintegrasi dengan kepentingan Gereja untuk mencapai misi kudus, karena Gereja berkepentingan dengan peningkatan dana dan manajemen keuangan yang baik untuk mencapai misinya. Kerry Jacob (2004) menyimpulan bahwa, berdasarkan teori A Clash of Jurisdictional yang dikemukakan oleh Abbot (1988), terdapat pemisahan wewenang antara masing-masing profesi yang tidak mungkin saling memahami sehingga muncul konflik antara Akuntan dengan Rohaniawan. Teori yang disampaikan Laughlin (1988) yang menyatakan ada pemisahan antara akuntansi sebagai Ilmu sekuler dengan kehidupan keagamaan yang penuh dengan kekudusan mendorong Jurisdictional Conflict tersebut. Disisi lain, Jacob (2004) juga mengutip pendapat Eliade (1959) yang menyatakan bahwa bagi seseorang yang sangat religius maka semua sudut pandangnya akan sesuatu selalu didasari oleh pemahaman spiritual, oleh karena itu maka praktek akuntansinya pun akan dipenuhi dengan dimensi spiritual, sebaliknya bagi seseorang yang tidak religius maka dipersepsikan bahwa akuntansi merupakan ilmu bebas dari pengaruh dimensi spiritual. ….

    [wpfilebase tag=file path=’sna14/007.pdf’ /]

     

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.